Perjalanan Panjang Si Pohon Mangga di Kudus
Oleh Herlina Hartanto, Ph.D., Direktur Eksekutif YKAN
Perjalanan di awal Agustus 2022 membawa saya ke Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya menuju salah satu lokasi kerja YKAN, di mana YKAN mendampingi lima desa di Pegunungan Muria dan Pegunungan Patiayam untuk melakukan rehabilitasi lahan sejak 2018. Perjalanan kali ini terasa istimewa, karena merupakan perjalanan pertama saya ke Kabupaten Kudus, sekaligus menjadi kali pertama bertemu langsung dengan para mitra kunci.
Perjalanan menuju lokasi diwarnai dengan pemandangan punggung-punggung bukit sekitar Pegunungan Muria dan Patiayam yang terbuka, tanpa kanopi pohon. Upaya pemulihan jelas diperlukan. Bagi warga setempat, area perbukitan ini memainkan peranan penting sebagai sumber mata air. Tidak hanya itu, bentang bukit ini adalah habitat berbagai flora dan fauna, termasuk macan tutul (Panthera pardus melas) yang merupakan kucing besar terakhir di Pulau Jawa dan, berdasarkan data IUCN, kini masuk dalam kelompok kritis punah atau satu tingkat menuju kepunahan.
Pentingnya areal ini terasa ketika banjir besar melanda Kudus dan wilayah sekitarnya pada 2014. Akses jalan tertutup, sendi-sendi perekonomian lumpuh. Kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintahan, dan sektor industri terhenti selama sekitar seminggu penuh.
Meniti langkah
Upaya penanaman kembali perbukitan yang gundul sudah dilakukan oleh berbagai pihak, tidak hanya dari pemerintah dan warga setempat, tetapi juga dari pihak korporasi.
Salah satu perusahaan yang menunjukkan komitmennya adalah PT Djarum yang sudah memulai upaya penanaman pohon di Pegunungan uria dan Pegunungan Patiayam ini sejak 2006. Komitmen ini masih terus ditunjukkan sampai saat ini.
Sejak 2018, PT Djarum bermitra dengan YKAN untuk mendukung rehabilitasi lahan dengan melibatkan warga desa secara aktif dan sebagai pelaku utama untuk menjadi agen perubahan (agent of change). Melalui pendekatan Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan (SIGAP), warga dari lima desa di Pegunungan Muria dan Patiayam menggerakkan diri melakukan kegiatan rehabilitasi lahan yang telah gundul atau rusak, dan yang tergolong paling kritis. Targetnya, pada 2023, lahan yang direhabilitasi mencapai 700 hektare.
Melalui pendekatan SIGAP, petani yang terlibat tidak lagi diperlakukan sebagai penerima dan penanam bibit yang kinerjanya dipantau dengan ketat, tetapi sebagai penentu nasib sendiri. Merekalah yang menentukan jenis bibit yang akan ditanam, lokasi tanam, jarak tanam, dan kebutuhan lainnya, yang dilakukan melalui proses diskusi dan pengambilan keputusan secara inklusif.
Hasilnya, antara lain, adanya variasi pilihan di antara desa yang merefleksikan kondisi sosial-ekonomi, budaya, pengetahuan teknis, dan kebutuhan warga. Petani di Desa Gondoharum, Kecamatan Jekulo, Kudus, memilih lima jenis pohon, yaitu mangga, jeruk pamelo, alpokat, jengkol dan petai. Sementara petani di Desa Menawan, Kecamatan Gebog, menjatuhkan pilihannya pada lima jenis pohon lain.
Pak Mashuri, Ketua Kelompok Tani Wonorejo, Dukuh Kaliwuluh, di Desa Gondoharum, yang kami temui di awal perjalanan, menceritakan betapa panjang upaya yang ia lakukan bersama-sama tim YKAN dalam meyakinkan petani di desanya untuk menanam pohon di lahan-lahan mereka yang gundul. “Saya harus mendapatkan setidaknya 20 local champion di desa saya untuk menggerakkan warga,” ujarnya.
Akhirnya, terkumpul 208 petani untuk merehabilitasi lahan kritis di kebun masing-masing dengan total seluas 122,5 hektare. Mereka melakukan setidaknya tiga kali diskusi kelompok untuk mendapatkan komitmen petani yang lahannya akan ditanami, menentukan jenis-jenis pohon yang akan ditanam di kebun masing-masing, tahapan rehabilitasi yang akan dilakukan, termasuk aktivitas pemantauan, pemeliharaan, dan pembagian tanggung jawab.
Untuk menentukan jenis tanaman, berdasarkan hasil diskusi, setidaknya ada enam kriteria yang digunakan. Yakni kecocokan bibit pohon dengan lahan; kecocokan dengan cuaca sekitar; tingkat kemudahan perawatan; ketahanan terhadap hama dan penyakit; kemudahan penjualan; dan produktivitas bibit. Enam kriteria inilah yang menjadi acuan sebelum menetapkan pilihan pada mangga, jeruk pamelo, alpokat, jengkol dan petai.
Memanen hasil
Proses yang panjang itu pun membuahkan hasil. Dengan lancar, Pak Mashuri membagikan pengetahuan dan mimpi yang mengendap di benaknya.
Begitu pohon-pohon buah ini tumbuh tinggi dan kanopinya saling bersentuhan, ia paham, petani tidak akan lagi dapat mengandalkan sumber ekonominya dari tanaman pangan/musiman, yaitu jagung, gembili, dan kentang hitam, yang menjadi andalan saat ini. Tanaman pangan ini akan bergeser menjadi sumber ekonomi sekunder. Sumber ekonomi jangka menengahnya adalah ternak (kambing) sembari menunggu pohon-pohom yang ditanam membuahkan hasil. Pak Mashuri juga telah memperhitungkan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengolah buah-buah mangga bila produksinya berlimpah.
Adanya pendampingan rekan-rekan YKAN juga memungkinkan aparat dan warga desa untuk mengidentifikasi dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi. Mulai dari serangan tikus dan monyet di kebun, menumpuknya sampah yang ditinggalkan oleh wisatawan, mengeringnya sumber mata air untuk pertanian, sampai pengembangan ekowisata.
Tanpa upaya holistik untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi desa, upaya rehabilitasi lahan tidak akan lestari. Hal ini terangkum dalam pernyataan Pak Mashuri di sore hari itu, “Kita tidak butuh hijau thok. Kita perlu ekonomi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang,” ujarnya.
Hanya dengan upaya holistik ini, Pak Mashuri bisa mengejar mimpinya untuk menjadikan Dukuh Kaliwuluh, Desa Gondoharum sebagai penghasil buah mangga terbesar se-Provinsi Jawa Tengah dan penghasil kambing terbesar se-Kabupaten Kudus.
Pengetahuan dan inspirasi Beliau sudah dibagikan kepada para petani dari Desa Terban yang berkunjung ke Gondoharum baru-baru ini. Saya yakin, Beliau akan menginspirasi lebih banyak petani-petani dan desa-desa lain, sehingga fungsi hutan sebagai “pagar desa” dapat diinternalisasi dan didorong di banyak tempat di Pegunungan Muria dan sekitarnya.
Keberhasilan dan keberlanjutan rehabilitasi lahan melalui pendekatan SIGAP yang meletakkan petani sebagai agen perubah dan penentu diharapkan dapat diadopsi dan dilaksanakan oleh PT Djarum serta pemangku kepentingan lain di banyak desa, sehingga investasi mereka terwujud dalam bentuk bentang alam Pegunungan Muria dan Patiayam yang hijau.