Patroli mangrove bengkalis
Keterangan Foto Kelompok mangrove di Desa Teluk Pambang, Pulau Bengkalis, melakukan patroli berkala untuk mencegah para perambah hutan menebang pohon mangrove. © A Yoseph Wihartono/YKAN

Perspektif

Kenapa Perlindungan Mangrove Harus Diprioritaskan Dibanding Rehabilitasi?

Salah satu langkah mitigasi perubahan iklim yang saat ini populer dilakukan oleh berbagai pihak adalah rehabilitasi mangrove melalui penanaman secara konvensional. Dibandingkan dengan penanaman, perlindungan mangrove justru sebenarnya lebih efektif dan efisien dalam menurunkan emisi gas rumah kaca .

Baca juga: Teknologi Terbarukan Dalam Pengelolaan Hutan Lestari

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2023, Indonesia memiliki mangrove seluas 3,4 juta hektare. Namun diperkirakan sejak dua abad lalu, Indonesia sudah kehilangan 1 juta hektare mangrove, atau sebanding dengan 13x negara Singapura (Ilman, 2016). Dalam periode 2009 – 2019 saja diketahui bahwa Indonesia kehilangan 182.091 hektare (Arifanti dkk, 2021).

Mangrove bengkalis
Keterangan Foto Laju degradasi hutan mangrove di Desa Teluk Pambang, Pulau Bengkalis, berhasil menurun sebesar 96%, dari 27 ha/tahun (2016-2021) menjadi 1 ha/tahun (sejak 2022 hingga saat ini), berkat penerapan perlindungan dan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat. © Dhika Rhino Pratama/YKAN

Badan Restorasi Mangrove dan Gambut (BRGM) menargetkan rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare hingga tahun 2024. Akan tetapi, rehabilitasi mangrove sebetulnya adalah proyek yang cukup sulit, mahal, dan butuh durasi panjang hingga memastikan tutupan hutan bertambah. Berdasarkan laporan Kompas per Februari 2024, BRGM baru berhasil merestorasi 130.000 hektare mangrove saja.

Analisis World Bank pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa biaya rehabilitasi mangrove di Indonesia tergolong tinggi, dapat mencapai hingga 3.900 USD (sekitar Rp. 64.000.000) per hektare, di atas rata-rata global yang nilainya 3.500 USD per hektare. Terlebih lagi, potensi kegagalan rehabilitasi akan turut menambah biaya untuk rehabilitasi ulang dan perawatan, sehingga  biaya yang sebenarnya bisa lebih mahal.

Selain itu, dalam perspektif mitigasi iklim melalui penyerapan karbon, untuk dapat mencapai penyimpanan karbon yang maksimal, mangrove perlu waktu puluhan hingga ratusan tahun (Kusumangnityas dkk, 2021). Novita dkk (2022) menganalisis bahwa kegiatan perlindungan dan pengelolaan mangrove berkontribusi hingga 75% terhadap mitigasi iklim dibandingkan restorasi mangrove yang hanya 25% saja.

Patroli mangrove Bengkalis
Keterangan Foto Kelompok mangrove di Desa Teluk Pambang, Pulau Bengkalis, melakukan patroli berkala untuk mencegah para perambah hutan menebang pohon mangrove. Patroli berkala adalah salah satu aksi perlindungan mangrove di tingkat tapak. © A Yoseph Wihartono/YKAN

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021, kawasan mangrove Indonesia yang berada di Hutan Lindung dan Hutan Konservasi hanya 49% saja, sisanya berada di kawasan Hutan Produksi dan Areal Penggunaan Lain yang berisiko beralih fungsi. Jika bisa menjaga hutan mangrove yang masih ada, Indonesia memiliki cadangan hingga 28 juta ton karbon (Arifianti, 2021). Ini artinya mangrove dapat berkontribusi untuk membantu Indonesia mencapai target FOLU unconditional (independent) hingga 5,6%.

Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan mangrove seharusnya menjadi prioritas untuk menjaga simpanan karbon Indonesia yang ada. Biaya yang diestimasikan pun lebih murah, dengan proses yang meliputi penguatan lembaga di tingkat provinsi, kabupaten, desa, hingga penguatan kebijakan dan perumusan regulasi.