Perjanjian Konservasi Terumbu Karang – Serua
Oleh Dr. Peter Mous, Direktur Program Perikanan Berkelanjutan YKAN
Di peta laut, orang mungkin dengan mudah mengabaikan pulau-pulau kecil di Laut Banda. Namun, mereka adalah oase keanekaragaman hayati terumbu karang, dan sebagian besar terumbu ini masih dalam kondisi sangat baik. Ancaman utama terhadap terumbu karang ini adalah penangkapan ikan yang berlebihan, baik oleh nelayan dari desa terdekat atau oleh nelayan dari kota terdekat. Penangkapan ikan yang berlebihan secara dramatis mengubah ekosistem terumbu karang, karena memusnahkan kelompok ikan yang memenuhi fungsi penting di terumbu karang. Salah satu contohnya adalah ikan kakatua, yang menjaga agar ganggang di terumbu karang tetap terkendali—bila pemakan ganggang laut ini tersingkirkan, maka ganggang akan segera mengambil alih terumbu karang. Terumbu karang di lokasi yang lebih terpencil juga menderita akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak dan sianida, yang keduanya ilegal di Indonesia. Kesepakatan konservasi, di mana penduduk desa setuju untuk melindungi terumbu karang dari penangkapan ikan, adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah penangkapan ikan yang berlebihan.
Organisasi tempat saya bekerja memiliki sejarah panjang dalam membuat perjanjian konservasi untuk hutan dan habitat darat lainnya, tetapi hanya ada sedikit contoh perjanjian konservasi untuk terumbu karang. Masalahnya di Indonesia, seperti di banyak negara lain, adalah bahwa terumbu karang adalah bagian dari laut dan karena itu tidak dapat dimiliki oleh satu orang, perusahaan, atau asosiasi. Akibatnya, hanya pemerintah yang dapat bertanggung jawab atas konservasi terumbu karang. Namun demikian, desa-desa yang lebih terpencil di Indonesia bagian timur mengambil kepemilikan terumbu karang secara informal, dan pengunjung dari kapal liveaboards atau pemancing, membayar sejumlah uang ke desa tersebut. Hukum Indonesia mengakomodir praktik ini dengan mengakui bahwa pengelolaan perikanan harus memperhatikan kearifan lokal. Mekanisme ini memberikan kesempatan kepada konservasionis untuk meminta masyarakat menyisihkan sebagian dari terumbu karangnya untuk konservasi.
Orang mungkin bertanya-tanya mengapa sebuah desa setuju untuk menyisihkan sebagian dari terumbu karang “mereka” untuk konservasi. Menurut pengalaman saya, sebagian besar penduduk desa menghargai perlunya konservasi, tetapi ini tidak berarti mereka bersedia mengorbankan sebagian dari mata pencaharian mereka untuk generasi mendatang. Bagaimanapun, hidup itu mahal: Anak-anak harus pergi ke sekolah, tagihan rumah sakit yang harus dibayar, dan atap rumah baru membutuhkan biaya renovasi. Sulit untuk meminta penduduk desa melepaskan sebagian dari pendapatan mereka, meskipun penduduk desa tampaknya bersimpati dengan gagasan itu. Negosiasi menjadi jauh lebih mudah jika konservasionis menawarkan insentif nyata (uang tunai adalah yang terbaik), sebagai imbalannya penduduk desa setuju untuk menjadi penjaga terumbu karang mereka.
Kriteria dasar pemilihan terumbu karang untuk kesepakatan konservasi adalah (1) keanekaragaman hayati, yang berada dalam kondisi baik, (2) cukup besar untuk menopang populasi ikan karang, minimal sekitar 1.000 ha untuk hamparan terumbu karang atau karang atol, atau berjarak 5 km di sepanjang tepi karang, (3) penggambaran yang jelas, misalnya terumbu karang di sekitar pulau kecil, atol atau hamparan karang yang berbeda, atau terumbu karang di antara dua tanjung, (4) kepemilikan tradisional yang jelas yang diakui secara luas oleh desa-desa lain di daerah tersebut. Akan sangat membantu jika terumbu karang memiliki ciri yang membedakannya dari terumbu lainnya, dan juga membantu jika terumbu karang tersebut merupakan lokasi penyelaman yang menarik. Contoh fitur tersebut adalah kepadatan ikan yang sangat tinggi, sering terlihatnya hiu atau pari manta, dan, untuk fotografer makro, adanya kuda laut kerdil (pygme seahorses) dan ikan ghostpipe berornamen.
Jadi misi saya dan rekan-rekan untuk tiga perjalanan konservasi pada November 2020, April 2021, dan November 2021 adalah pembentukan dan evaluasi kesepakatan konservasi di salah satu desa di sepanjang jalur perjalanan Seven Seas. Kami akhirnya bekerja sama dengan Serua di kabupaten Maluku Tengah.
Serua adalah pulau vulkanik di bagian dalam cekungan Banda, dan merupakan bagian dari kepulauan yang membentang sepanjang 120 mil laut dari barat daya pulau Teun ke ujung timur laut yaitu Pulau Manuk yang tidak berpenghuni (maksudnya tidak dihuni oleh manusia-namun merupakan pulau utama koloni pengembangbiakan burung-burung boobies kaki merah, boobies coklat, fregat, dan burung tropika ekor merah). Serua dan pulau-pulau kecilnya, yaitu Kekeh Besar dan Kekeh Kecil memiliki terumbu karang yang sangat baik, dengan kehidupan ikan yang melimpah seperti yang diharapkan dari tipikal terumbu karang di area Ring of Fire (perlu diperhatikan bahwa sebagian besar terumbu karang ini dapat membuat para penyelam naturalis tertarik selama beberapa dekade!). Namun, ada satu fenomena alam luar biasa yang membuat Serua ini istimewa: pulau ini menampilkan schooling hiu martil Sphyrna lewini, tak jauh dari Kekeh Besar.
Pulau Serua memiliki empat desa, di mana Jerili adalah yang terbesar. Jerili adalah desa yang paling dekat dengan kedua pulau Kekeh, dan oleh karena itu penduduknya mengklaim hak pakai atas terumbu karang Kekeh Besar dan Kekeh Kecil. Desa Jerili juga merupakan desa tempat para kapal live-aboards melapor untuk meminta izin menyelam dan membayar biaya kunjungan secara tidak resmi (biasanya Rp 150.000, atau sekitar US$ 10 per penyelam). Biasanya kepala masyarakat (Kepala Dusun) yang mengurus administrasi dan iuran ini. Kami menemukan ada 30 nelayan yang menggunakan terumbu karang di sekitar pulau Kekeh untuk penangkapan ikan—sebagian untuk konsumsi sendiri, dan sebagian lagi untuk diolah sebagai ikan kering dan asin, untuk dijual di Ambon atau kepada pembeli yang lewat di atas kapal feri antarpulau di Indonesia, Sabuk Nusantara.
Nelayan Jerili menyebutkan, nelayan dari daerah lain, terutama Sulawesi, terkadang melintas untuk menangkap ikan di sekitar Kekeh dengan bom rakitan. Penangkapan ikan dengan bahan peledak adalah ilegal di Indonesia, dan sekarang sudah jarang dilakukan dibandingkan dengan tahun 1990-an, tetapi masih terjadi di terumbu karang terpencil di mana risiko untuk ditangkap rendah. Sebagian besar nelayan yang berkunjung, bagaimanapun, menggunakan metode penangkapan ikan yang legal (seperti kail dan pancing), dan seperti kapal liveaboards, mereka biasanya meminta izin untuk menangkap ikan di terumbu karang di dekat desa. Misalnya, di Pulau Teun, kami mengetahui bahwa nelayan yang berkunjung membayar setidaknya Rp 500.000 (atau sekitar US$ 35) untuk ijin menangkap ikan yang tidak resmi selama beberapa hari.
Kami juga menemukan informasi bahwa menangkap ikan bagi masyarakat Jerili adalah untuk pendapatan tambahan selain dari bertani, yang berarti mereka tidak hanya bergantung pada penangkapan ikan. Lebih lanjut, pemeriksaan sementara terhadap hasil tangkapan mengungkapkan bahwa mereka menangkap ikan selar untuk umpan, beberapa rainbow runner, dan beberapa jenis ikan kuwe selain berbagai jenis ikan karang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka melakukan sebagian dari penangkapan ikan mereka setidaknya beberapa ratus meter dari tepi karang, di perairan terbuka. Akhirnya, kami mengetahui bahwa Jerili mempraktikkan sasi laut, praktik panen tradisional untuk teripang dan lobster, yang berlangsung beberapa minggu setiap tahun atau setiap tahun kedua.
Setelah mengetahui bagaimana masyarakat Jerili mencari nafkah, kami berkumpul dengan kelompok nelayan di depan rumah Kepala Dusun. Setelah hilir-mudik kami membuat kesepakatan dengan para nelayan yang melindungi terumbu karang di sekitar pulau Kekeh dari penangkapan ikan selama enam bulan. Secara total, terumbu karang di kawasan konservasi terbentang sepanjang enam kilometer mengelilingi pulau-pulau, termasuk perairan hingga 200 m dari tepi terumbu karang. Sebagai bagian dari kesepakatan, para nelayan berjanji untuk mencegah orang lain menangkap biota laut di area terumbu karang, dan melakukan patroli rutin di daerah itu dengan salah satu perahu mereka. Kami sepakat bahwa menyelam di kawasan konservasi tetap diperbolehkan. Kami menawarkan pembayaran tunai, untuk dibagikan kepada 30 nelayan. Kami juga menyediakan beberapa perlengkapan dasar yaitu teropong, radio VHF, kamera, dan alat pelacak. Nelayan menggunakan alat pelacak dan kamera untuk melaporkan patroli mereka, dan mereka juga menggunakan kamera untuk berbagi gambar hasil tangkapan mereka. Kami merekrut salah satu penduduk desa, Pak Yakub, sebagai pengurus untuk membantu pengelolaan program konservasi berbasis masyarakat ini.
Kesepakatan ini hanyalah awal dari program yang lebih komprehensif, tentu saja, dan jeda enam bulan tidak akan cukup bagi ikan karang Kekeh untuk pulih setelah puluhan tahun dipancing dengan kail. Selain itu, kami tidak tahu pasti apakah ada perburuan liar. Kami menemukan nilon yang baru-baru ini tersangkut di terumbu karang ketika kami mengunjungi kawasan konservasi hanya sembilan hari setelah perjanjian berakhir, pada 12 November 2021…
Kami belajar bahwa membuat kesepakatan langsung untuk konservasi adalah mungkin, dan cukup terjangkau. Kami selanjutnya dapat merampingkan “penawaran” kami untuk mengurangi upaya yang harus kami keluarkan untuk negosiasi dan menyelesaikan rincian administratif dari perjanjian tersebut. Kami juga belajar bahwa teknologi saat ini memungkinkan kami untuk memeriksa apakah patroli benar aktif. Selain itu, gambar yang diambil oleh para nelayan memberikan jendela baru tentang praktik penangkapan ikan dan kehidupan sehari-hari mereka. Mengukur kepatuhan terhadap kesepakatan tetap menjadi tantangan, tetapi kami telah menemukan solusi untuk itu juga: Penangkapan pancing dengan kail di terumbu hampir selalu mengakibatkan hilangnya peralatan memancing sesekali, jadi kami dapat menggunakan keberadaan pancing di terumbu karang sebagai indikator adanya penangkapan ikan. Kami berencana untuk membersihkan terumbu karang dari sisa alat-alat pancing di awal perjanjian, dan sesekali melakukan inspeksi karang sekali atau dua kali setahun untuk memeriksa apakah ada alat tangkap yang tertinggal.
Senang rasanya menyelesaikan blog ini dengan nada optimis, dan kami memiliki kesuksesan nyata untuk ditampilkan di sini. Tepat di awal kesepakatan konservasi, masyarakat Jerili mendeteksi penangkapan ikan dengan bahan peledak di kawasan konservasi, di sisi utara Kekeh Besar. Mendekati nelayan yang menggunakan bahan peledak agak sulit bagi komunitas yang tidak bersenjata, karena nelayan peledak dapat menggunakan bom ikan mereka sebagai granat tangan. Untungnya, Pak Yakub dan Kepala Dusun, Pak Edo, memiliki hubungan baik dengan Angkatan Laut Indonesia, dan mereka dapat melakukan panggilan radio ke kapal patroli yang kebetulan berada di pelabuhan Saumlaki, sekitar tiga jam dari Serua. Angkatan Laut berhasil menangkap nelayan peledak di laut tidak jauh dari desa. Sesekali, penangkapan seperti itu sangat efektif untuk mencegah dan membuat jera penangkapan ikan dengan bahan peledak. Ini menggambarkan bagaimana masyarakat dan lembaga penegak hukum dapat bekerja sama untuk melindungi terumbu karang, asalkan ada insentif nyata bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program konservasi.