Quote: Yuliana Wetuq
Penjaga dan pelindung. Dua predikat yang lekat pada Yuliana Wetuq. Perempuan berusia 45 tahun asal Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur ini menjadi motor penggerak Lembaga Adat Dayak Wehea. Di tengah kesibukannya sebagai orangtua tunggal dari empat anak, ia terlibat aktif sebagai koordinator kelompok penjaga Hutan Lindung Wehea atau biasa dikenal dengan nama Petkuq Mehuey.
Dalam bahasa Dayak Wehea, Petkuq Mehuey memiliki arti “kelompok penjaga hutan.” Kelompok ini terdiri atas sekelompok pemuda-pemudi Dayak Wehea yang dikukuhkan oleh kepala adat suku Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing untuk menjaga kawasan Hutan Lindung Wehea. Mereka berpatroli untuk mencegah masuknya penebang liar, penambangan liar, mengumpulkan data flora dan fauna, dan memantau satwa liar. Tidak hanya itu, kelompok Petkuq Mehuey juga bertugas mendampingi wisatawan yang datang.. Dalam melaksanakan tugasnya, kelompok ini akan tinggal di dalam hutan selama satu bulan secara bergiliran.
Petkuq Mehuey pun menjadi garda terdepan dalam memastikan Hutan Lindung Wehea tetap lestari dan budaya mereka tetap hidup dalam setiap embusan napas. Yuliana adalah salah satu warga desa yang mendedikasikan dirinya untuk Hutan Lindung Wehea. Ia menjadi salah satu dari tiga perempuan yang turut serta dalam kegiatan Petkuq Mehuey dan memegang peranan vital dalam operasional kelompok. Tugasnya antara lain mengoordinasikan pembagian jadwal tim patroli yang tinggal di hutan, memastikan kebutuhan logistik terpenuhi, dan mengatur jadwal wisatawan yang berkunjung.
Hutan Lindung Wehea merupakan aset penting dalam konservasi biodiversitas. Area seluas 29.000 hektare ini merupakan rumah bagi satwa endemik liar seperti orang utan (Pongo pygmaeus), owa kelabu kalimantan (Hylobates funereu), lutung merah (Presbytis rubicunda) dan macan dahan (Neofelis diardi borneensis). Tantangannya, 80% habitat satwa yang dilindungi tersebut terletak di luar kawasan konservasi.
Tingginya nilai vital Hutan Lindung Wehea untuk keberlangsungan biodiversitas dan kehidupan masyarakat, kian mendorong masyarakat adat untuk tidak tergerus kebutuhan produksi semata. Terlebih lagi, hutan ini kaya akan sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan, air, apotek hidup, dan lainnya. Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama masyarakat Dayak Wehea dan Pemerintah Kabupatan Kutai Timur memulai aksi nyata melindungi kawasan yang menjadi habitat orang utan Kalimantan ini, dari yang semula adalah hutan produksi, diusulkan menjadi hutan lindung. Hingga akhirnya pada 2004, status kawasan hutan lindung berhasil diperoleh dengan hak pengelolaan oleh masyarakat Dayak Wehea.
“Hutan adalah sumber kehidupan kami, orang Wehea. Sebelum mencari pertolongan medis, masyarakat Dayak Wehea biasa menggantungkan pengobatan ke hutan mereka terlebih dulu,” terang Yuliana.
Menjadi seorang ibu, menjadi bagian dari komunitas adat, dan menjadi salah seorang penjaga hutan. Yuliana berharap, langkahnya dapat menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Wehea lainnya untuk terlibat dalam melestarikan adat dan alam Wehea. “Jagalah keanekaragaman hayati yang ada di hutan kita agar tetap lestari dan tidak punah. Tetap semangat,” ujarnya.
Menjaga wilayah hutan, bagi masyarakat Wehea, tidak hanya memastikan kelestarian alam, tapi juga kelestarian budaya mereka. Jika hutan di sekitar Wehea hilang, tradisi dan upacara adat penting Suku Wehea pun akan punah. Harapan yang juga Yuliana yakini dalam menjaga hutan, supaya generasi masa depan Wehea akan terjaga dan sejahtera. “Semoga saja hutan ini terjaga sampai anak-cucu kami,” pungkasnya.