Mengapa Orangutan?
Oleh Mohamad Arif Rifqi, Endangered Species Habitat Conservation Spc. YKAN
Sebagian dari kita mungkin mengenal jenis satwa monyet atau kera. Kita tahu dari fabel, kebun binatang atau tontonan di televisi atau media elektronik. Kemampuannya yang mudah meniru sebagian perilaku manusia, menjadikan satwa ini menarik perhatian. Kelompok jenis satwa ini dikenal dengan kelompok jenis primata. Salah satu sub kelompok dari kelas satwa yang memiliki kelenjar menyusui (mamalia) dan mengalami evolusi lebih berkembang dari kelompok jenis satwa atau ragam jenis hayati lainnya.
Salah satu jenis primata yang cukup populer adalah orangutan. Berasal dari Bahasa melayu yang artinya “orang di hutan”. Jenis primata termasuk ke dalam kelompok kera, yaitu kelompok primata yang tidak memiliki ekor. Sementara itu, kelompok jenis kera dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran, ada kera yang badannya relatif besar atau disebut kera besar seperti halnya orangutan, bonobo, simpanse dan gorila. Kemudian, ada kera yang berukuran relatif kecil, seperti siamang dan beberapa jenis owa.
Sebaran dari orangutan ini unik dibandingkan kera besar lainnya, semua kerabat kera besar tersebari di Afrika, sedangkan, orangutan hanya ditemukan di Benua Asia. Ia juga memiliki warna rambut yang cerah (kuning kecokelatan), sedangkan kerabatanya di Afrika mayoritas hitam dengan sedikit abu-abu atau perak.
Sejarah fosil menjelaskan asal sebaran dari daratan Yunan di Tiongkok bagian selatan hingga ujung tenggara paparan sunda (sundaland). Para ahli juga menganggap jenis ini memiliki kekerabatan dengan nenek moyangnya yang berukuran lebih besar, yaitu kera giganto (Gigantopithecus sp.), satwa yang oleh sebagian orang juga diafiliasikan dengan cerita yeti atau bigfoot. Selain itu, fosil orangutan juga pernah ditemukan di Pulau Jawa, yaitu Sangiran di Jawa Tengah, serta Punung dan Trinil di Jawa Timur. Kehilangan habitat dan perburuan diperkirakan menjadi salah satu penyebab utama dari kepunahannya pada masa lalu.
Saat ini, populasinya di alam mayoritas dapat ditemukan di kawasan berhutan di Pulau Sumatera bagian utara dan Pulau Kalimantan. Populasi di Sumatera meliputi Kawasan Ekosistem Leuser dan Batang Toru, kemudian terdapat kawasan pelepasliaran orangutan di hutan Bukit Tiga Puluh, Jambi. Sementara itu, orangutan di Kalimantan hampir tersebar di setiap Provinsi di Wilayah Indonesia, dan wilayah Sabah dan Sarawak di Malaysia.
Sejak 2017, dikenal tiga jenis orangutan. Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) menjadi jenis orangutan ‘termuda’ setelah dikelompokkan terpisah dari kerbatanya orangutan sumatera (Pongo abelii). Perbedaan genetik dan morfologis, yang salah satunya diprediksi terjadi akibat letusan Gunung Toba menjadi ciri pembeda kedua jenis tersebut. Selain itu, jenis ketiga adalah orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).
Secara lebih khusus, orangutan kalimantan memiliki tiga sub jenis, yang dipisah oleh tiga sungai besar. Sub jenis orangutan kalimantan Pongo pygmaeus pygmaeus tersebar di sebelah utara Sungai Kapuas Kalimantan Barat, hingga Serawak, sub jenis P.p.wurmbii tersebar di bagian selatan Sungai Kapuas Kalimantan Barat hingga sebelah barat Sungai Barito Kalimantan Tengah. Sementara itu, Sub jenis P.p.morio tersebar alami di bagian utara Sungai Mahakam Kalimantan Timur hingga Sabah. Perbedaan ketiga sub jenis tersebut sering kali tidak terlihat jelas, namun sub jenis morio cenderung lebih gelap dibadingkan yang lainnya.
Melihat kepada sebaran habitat orangutan hasil workshop international 10 tahunan, Orangutan Population and Habitat Viability Assessment 2016 yang lalu, telah diidentifikasi habitat orangutan sekitar 18 juta hektar di Pulau Sumatera dan Borneo, termasuk Kalimantan, Sabah dan Serawak. Tentunya, sebagai salah satu pulau terbesar di dunia, dan memiliki kawasan berhutan yang relatif luas, mayoritas habitatnya berada di Kalimantan. Terdapat 48.39% di Provinsi Kalimantan Tengah, 29.4% di Provinsi Kalimantan Barat, 22.17% di Kalimantan Timur, dan 0.04% di Kalimantan Selatan.
Dari sekitar 16 juta hektar habitat orangutan di Kalimantan, 13% di antaranya berada di dalam kawasan konservasi, atau disebut juga Kawasan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam. Umumnya kawasan kawasan tersebut telah memiliki unit pengelola di tingkat tapak, baik berupa Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau Balai Taman Nasional.
Sementara itu, 19% berada di dalam kawasan Hutan Lindung berdasarkan fungsi hidrologis dan kelerengan, 60% di Hutan Produksi (22% untuk produksi, 34% produksi terbatas, dan 4% untuk konversi). Selain itu, sekitar 7%-8% teridentifikasi di area berhutan di fungsi kawasan Area Penggunaan Lain (APL).
Fakta bahwa adanya multi-fungsi dan status kawasan pada habitat orangutan kalimantan mengharuskan adanya kerja sama para pengelola kawasan dan para pihak berkepentingan untuk turut menunjukkan komitmen dan mengambil peran aktif melalui kolaborasi dalam pengelolaan habitatnya, tentu populasi di dalamnya. Pada intinya, yang diperlukan adalah pengelolaan yang setidaknya dapat mempertahankan habitat dan populasinya saat ini, atau bahkan mendukung peningkatan kualitas habitat dan ukuran populasi dalam jangka waktu yang panjang.
Bisa dibilang bahwa popularitas orangutan muncul menjadi perhatian publik internasional tidak lepas dari buku Alfred Russell Wallace di dalam buku Malay Archipelago pada tahun 1869. Morfologi dan sebarannya yang unik dibandingkan kera lainnya, membuat orangutan memiliki posisi tersendiri dalam perhatian masyarakat. Lebih dari itu, peran orangutan di alam tidak dapat tergantikan.
Lumrah diketahui bahwa orangutan satwa furgivora (mayoritas mengonsumsi buah). Satwa lain seperti burung dan beberapa jenis mamalia juga mengonsumsi buah. Namun, jumlah yang dikonsumsi orangutan relatif lebih banyak dalam satu waktu. Selain itu, orangutan juga memiliki daerah jelajah yang luas, satu individu betina bisa mencapai 850 ha, sementara satu individu jantan lebih luas, bahkan satu jantan remaja hampir tidak terukur luasnya, karena tidak ada peneliti yang dapat mengukurnya sampai saat ini. Setidaknya dua fakta tersebut, kemampuan mengonsumsi buah dalam jumlah yang banyak, dan area jelajahnya yang luas, memposisikan orangutan sebagai penyebar biji terbaik di habitatnya. Hal ini didukung dari beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa masa dorman biji dari buah yang dimakan orangutan menjadi lebih singkat, dan bisa tumbuh lebih cepat dan natural dibandingkan tumbuhan yang ditanam manusia dari hasil persemaian.
Fakta lain yang juga lumrah diketahui adalah kemiripan genetic manusia dengan orangutan, hanya beda 3%. Namun jika bicara genetic, angka 3% relatif signifikan dalam bentuk fenotipnya. Namun demikian, ada konsekuensi bahwa mungkin terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dikonsumsi dapat bermanfaat dari segi pangan, gizi, nutrisi dan obat-obatan bagi manusia. Sebab, faktanya, beberapa kelompok masyarakat Dayak di Kalteng dan Kalbar menggunakan beberapa jenis tumbuhan hutan yang dikonsumsi orangutan untuk fungsi yang sama. Jika kajian intensif dilakukan, bukan tidak mungkin manfaat besar untuk kesejahteraan manusia bersumber dari ilmunya orangutan di alam. Seperti contoh temuan fakta jenis tumbuhan Macaranga conifera sebagai salah satu pakan orangutan untuk potensi pengobatan kanker dan antioksidan yang belakangan ini diungkap oleh peneliti dari Universitas Mulawarman.
Fakta ilmiah dan pembelajaran lain belum banyak terungkap dari kehidupan orangutan, dan interaksi dengan habitatnya. Walaupun penelitian tentang orangutan relatif lebih banyak dibandingkan jenis satwa terancam punah lainnya di Indonesia. Namun akan semakin banyak pertanyaan yang penting untuk dijawab, tentang penguatan ilmu pengetahuan murni, pengembangan ilmu terapan, hingga solusi bagi permasalahan kehidupan manusia dan bumi.
Maka itu, tidak salah jika para ahli dan pemerhati menyebut orangutan sebagai umbrella species, jenis yang dapat memayungi upaya dan hasil konservasi (studi, perlindungan dan pemanfaaatan) biodiversitas lainnya di hutan hujan tropis Sumatera dan Kalimantan.
Ucapan bijak yang menyebutkan bahwa harta alam, sumber daya alam, termasuk satwa liar seperti orangutan sepatutnya tidak disebut sebagai warisan untuk masa depan, rasanya tepat untuk konteks saat ini. Bagi sebagian orang, warisan ada mungkin untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesenangan dan memenuhi keinginan. Namun, akan lebih bijak jika diposisikan sebagai warisan bagi anak cucu.
Fakta yang dihadapi saat ini, habitat orangutan telah menyusut sejak awal manusia menaruh perhatian bagi orangutan. Tidak dapat dipungkiri, hutan telah berkurang dari waktu ke waktu. Beberapa intervensi telah dilakukan hingga kabar akhir-akhir ini menyebutkan bahwa deforestasi melambat. Namun, bagi orangutan hal ini tidaklah cukup.
Orangutan memerlukan habitat luas yang saling terhubung untuk dapat mencari makan, berkembang biak dan menjelajah. Tidak sulit kita menemukan gambar hutan yang terfragmentasi saat ini. Populasinyapun terancam akibat kegiatan perburuan yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya, hingga kematian akibat konflik atau interaksi negatif dengan manusia. Dalam hal ini, orangutan cenderung berada pada posisi yang lebih lemah. Ancaman dari kehilangan habitat sebagai externalitas dari pembangunan yang tidak berkelanjutan melengkapi derita orangutan di alam, selain adanya resiko bencana alam, seperti kebakaran hutan dan lahan.
Orangutan bukanlah satwa yang dapat berkembang biak dengan cepat, interval kelahiran antar anak bisa 6-8 tahun. Satu induk betina tidak akan melahirkan anak baru dalam rentang pengasuhan anak dari lahir hingga menjadi remaja. Hal lain juga dipengaruhi siklus berubah hutan yang umumnya melimpah setiap lima tahun, sehingga nutrisinya mencukupi kebutuhan fisiologi reproduksi, dan siklus inipun, terancam tidak stabil akibat perubahan iklim.
Melihat kepada situasi tersebut, sebagian manusia yang menyadari perannya sebagai khalifah di bumi telah melakukan upaya konservasi untuk memastikan kelestarian orangutan di Habitatnya. Secara umum, upaya tersebut dilakukan melalui konservasi di habitat aslinya, melalui perlindungan habitat, pemantauan bahkan pengayaan bagi habitat yang terdegradasi. Praktisi dan ahli menyebutnya sebagai konservasi in-situ. Keberadaan kawasan konservasi dan area di luar kawasan konservasi yang dikelola secara bijaksana, menjadi tumpuan bagi kelestarian orangutan dalam jangka waktu yang panjang.
Selain itu, terdapat upaya konservasi yang juga dilakukan di luar habitat aslinya, disebut juga konservasi ex-situ. Edukasi konservasi dan ilmu pengetahuan dapat juga dilakukan di fasilitas seperti kebun binatang dan taman safari. Juga, adanya upaya rehabilitasi orangutan yang terpaksa atau pernah dipaksa keluar dari habitat aslinya karena konflik, perburuan dan perdagangan illegal. Hal ini perlu dilakukan untuk menangani “kebocoran” habitat in-situ dan bahkan mengembalikannya ke asalnya di hutan.